PEMBERONTAKAN ANAK BUAH KAPAL “ZEVEN PROVINCIEN” TAHUN 1933

PEMBERONTAKAN ANAK BUAH KAPAL “ZEVEN PROVINCIEN” TAHUN 1933

Suyatno Kartodiredjo

sumber: majalah prisma

Sejarah mencatat pada 4 Februari 1933, awak kapal Zeven Provincien milik Belanda memulai pemberontakan yang getarnya terasa sampai ketingkat tertinggi pimpinan politik negeri Belanda. Pemberontakan itu suatu episode dalam sejarah pergerakan nasional yang panjang, terjadi dalam konteks depresi ekonomi, kebijakan politik pemerintah yang reaksioner, dan agitasi yang semakin radikal oleh kalangan nasionalis masa itu.

Dalam tahun-tahun permulaan abad XX terjadi suatu perkembangan ekonomi yang pesat di indonsia. Perkembangan itu disertai dengan perluasan jabatan-jabatan dalam pemerintahan kolonial secara besar-besaran. Dalam kenyataannya perkembangan ekonomi yang pesat tidak untuk kemakmuran bagi penduduk pribumi. Perkembangan politik kolonial tersebut diikuti oleh perkembangan humaniterisme yang kemudian menimbulkan kritik terhadap praktek kolonial yang tidak mempunyai pertanggung jawaban moral di tanah koloni. Kritik itun telah menimbulkan atau melahirkan orientasi baru, yang sering dinamakan politik etis, politik kemakmuran atau politik asosiasi.[1]

Suatu kenyataan bahwa politik etis akhirnya gagal, yang tampak jelas pada akhir Perang Dunia I. Di Indonesia seperti tampak jelas pada banyak daerah terjadi kelaparan dan kemiskinan. Disamping itu perbedaan antara golongan Eropa dengan golongan pribumi makin mencolok, seperti dibidang pendidikan, jabatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Sedangakan perusahaan-perusahaan mengalami kemajuan dan keuntungan yang sangat besar, karena permintaan yang besar akan produksi Indonesia.

Kiranya tidaklah mengherankan apabila pada waktu itu terjadi kegelisahan sosial yang meluas di lingkungan penduduk pribumi. Dan beberapa contoh yang dapat disebutkan dibawah ini, seperti pemberontakan petani Jambi (1916), pemberontakan di Pasarrebo (1916), pemberontakan Tjimareme (1918). Bahkan organisasi-organisasi pergerakan nasional telah pula dimanfaatkan`sebagai media penyalur ketidakpuasan. Aksi politiknya bersifat revolusioner dan pada umumnya mengunakan gerakan buruh sebagai sejatanya. Meletusnya pergolakan dinegeri Belanda makin mempercepat gerakan-gerakan revolusioner di Indonesia.

Politik kolonial Belanda yang menganut politik reaksioner (1918-1930), membuahkan suatu dorongan aksi pergerakan nasional cenderung kearah radikal dan revolusioner. Proses radikalisasi ini makin kuat setelah tahun 1921, yang antaralain disebabkan karena beberapa unsur, seperti krisis perusahaan gula tahun 1918, krisis ekonomi tahun 1920, kenaikan pajak rakyat. Dalam laporan yang dikerjakan oleh mayor Ranneft diseutkan bahwa sejak Fock menjabat Gubernur Jenderal tahun 1921, yang menggantikan Gubernur Jenderal Limburg Stirum (1916-1921), pajak rakyat di Jawa dan madura dinaikan sekitar 40 %.

Sejak tahun 1922 pemogokan-pemogokan terjadi dilingkungan organisasi-organisasi buruh seperti buruh penggadaian (1922), pegawai kereta api (1923). Pada akhir 1926 pergolakan-pergolakan memuncak antara lain beberapa pemberontakan di Banten, Sumatera Barat, dan beberapa tempat lainnya di Jawa. Gubernur Jenderal De Graaf (1926-1931)segera melakukan politik penindasan, dalam mana beberapa ribu golongan nasionalais radikal dipenjarakan dan dibuang ke Digul (tanah Merah).

Kebijakan kolonial dibidang ekonomi dan politik di bawah Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936), sangat reaksioner. Gubernur Jenderal de Jonge tidak mngakui eksistensi pergerakan nasional, sehingga tinadakannya selalu mencurigai organisasi-organisasi pergerakan nasional. Rapat-rapat dan pertemuan selalu diawasi oleh polisi rahasia secara ketat sekali. Demikianlah pergerakan nasional tampak mengalami kelumpuhan gerak. Sedangkan dibidang ekonomi dia selalu berusaha untuk meningkatkan perusahaan-perusahaan serta menghemat pengeluaran negara, sebagian akibat depresi ekonomi tahun 1930. Pendidikan bagi golongan pribumi semakin dibatasi, antaralain dengan dikeluarkannya Ordonansi Pengawasan ( Toezicht Ordonantie) pada tahun 1932. Dengan Ordonansi ini segala penyelenggaraan pengajaran yang mengancam ketertiban masyarakat dilarang. Dalam hal ini sekolah-sekolah diselenggarakan oleh Ki hadjar dewantara diawasi dengan sangat ketat. Keresahan politik, pergolakan dan pemberontrakan tampak merupakan gejala yang timbul sebagai reaksi terhadap politik reaksioner de Jonge. Terjadinya pemberontakan kapal perang Zeven Provincien tahun 1933, tidak terlepas`dari kebijaksanaan politik de Jonge tersebut.



Keadaan Sosial dan Ekonomi Sekitar 1930-An

Depresi ekonomi dunia atau krisis besar dunia pada tahun 1930 membawa pengaruh buruk terhadap negeri-negeri seberang lautan, termasuk Indonesia yang merupakan negara pengahasil bahan mentah. Harga Beras, Jagung dan Umbi-umbian segera merosot bersamaan dengan bahan-bahan ekspor. Sedangkan perusahaan-perusahaan perkebunan asing, dengan pembukuan perusahaan yang berhati-hati, masih dapat bekerja untuk sementara waktu menderita kerugian. Perusahaan-perusahaan perkebunan ini mengambil kebijakan menciutkan produksi, menurunkan upah pegawai dan memecet sebagian para pegawainya.

Kemerosotan harga hasil pertanian telah mengakibatkan kemelaratan pemduduk. Apalagi dengan kegagalan politik etis, krisis ekonomi, turunnnya harga ekspor dan naiknya harga impor menjadikan kemelaratan penduduk Indonesia, terutama di Jawa, semakin tambah parah lagi. Untuk memenuhi kebutuhannya, seperti membayar pajak, pembelian barang-barang impor, maka para petani jatuh kedalam hutang dari kredit-kredit gelap yang mendaji lintah darat.

Perekonomian rakyat menjadi kacau, dan perdagangan barter tampak hidup kembali di beberapa daerah, hal tersebut terjadi karena sukarnya mendapatkan uang.

Kedadaan ekonomi yang kacau itu telah menyebabkan orang mulai mengurangi makan nasi dan lebih banyak makan umbi-umbian, yang produksinya mulai ditingkatkan. Pembayaran pajak tanah tidak lagi tepat pada waktunya. Oleh karena itu ditempuh cara pembayaran mingguan sebagai suatu sistem pelunasan pajak tanah. Meskipun demikian karena kesulitan ekonomi yang diderita penduduk, pada pembayaran pajak tanah tersebut masih terjadi tunggakan pembayaran, seperti tampak di beberapa daerah di Jawa.

Pada tahun 1933, kira-kira 84 % pabrik gula ditutup, dan selebihnya diteruskan dengan menurunkan upah menjadi setengahnya sehigga dari sekitar f 125.000.000 yang dibayar oleh industri gula kepada penduduk pada tahun 1929, hanya tinggal sebagian kecil saja. Padahal pada tahun 1930 di Jawa terdapat 180 buah pabrik gula yang dapat mempekerjakan sekitar 800.000 orang yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak Jawa. Teh, Karet, Tembakau keadaannya juga buruk, seperti halnya industri gula, oleh karena itu, tiga industri perkebunan terakhir ini juga mengalami pembatasan dan penurunan upah yang tajam. Selanjutnya ada sekitar 100.000 orang buruh perkebunan kembali pulang dan menjadi beban sosial dan ekonomi desa.

Pada masa 1905-1930, perkembangan ekonomi kolonial di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat, meskipun hal itu tidak untuk kemakmuran golongan pribumi. Suasana ekonomi kolonial sejak depresi ekonomi 1930 merupakan suatu krisis ekonomi yang sangat berat. Semua perusahaan bekerja dengan menderita rugi terus-menerus. Ribuan pekerja Eropa dipulangkan ke negeri asalnya. Ribuan Indo-Eropa, tionghoa dan penduduk asli kehilangan lapangan kerja. Panitia-panitia penyantun darurat dibentuk sebagai tempat penampungan mereka itu. Dari 60.000 jabatan orang Eropa di luar angkatan darat dan angkatan laut, sekitar 15.000-20.000 jabatan orang Eropa di tiadakan pada tahun 1930-1935.

Meski beban pajak meningkat sekitar 80 %, karena keadaan keuangan negara yang buruk, keijaksanaan politik kolonial terpaksa menjalankan pemotongan-pemotongan gaji, yang bagi pegawai-pegawai terendah sampai jumlah 45 %. Semua industri seperti kerajinan, bangunan, industri baja, perusahaan angkutan menderita kelumpuhan. Sumber daya manusia usia muda, yang produkti dan selam 10 tahun sebelumnya dipersiapkan sebagai tenaga terdidik dalam dunia usaha, terpaksa tidak mendapat tempat kerja. Pemuda Indo-Eropa tidak dapat menemukan jalan keluar, sedangkan pemuda pribumi sebagian besar kembali ke ekonomi pedesaan.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, sekitar 67,7 % rakyat Indonesia mempunyai kegiatan ekonomi di lapangan pertanian ( termasuk perikanan dan peternakan ). Sedangkan dibidang pertambangan 0,7 %, kerajinan 10,6 % perdagangan 6,2% pengangkutan 1,5%, jasa-jasa 4,9% dan lain-lain 8,4%. Meski telah terjadi proses diferensiasi lapangan kerja, namun deresi ekonomi 1930 telah membawa pengaruh terjadinya pengaguran yang begitu besar. Disamping itu juga karena pertambahan penduduk yang besar. Antara tahun 1920 dan 1930 pertumbuhan penduduk di Jawa sekitar 17,6 % per seribu jiwa. Dan pertumbuhan ini tidak merata. Daerah-daerah penerima migrasi mengalamipertumbuhan yang cepat sekali, seperti di daerah Besuki, Jawa timur dengan kenaikan 32,9 per seribu jiwa. Pada tahun 1930 penduduk Indonesia telah mencapai 6,7 juta jiwa. Dalam keadaan depresi ekonomi 1930, jelas kiranya bahwa masalah penduduk di Indonesia merupakan masalah sosial dan ekonomi yang berat bagi pemerintahan kolonial. Semua masalah tersebut ikut serta mempengaruhi terciptanya suatu kondisi politik, seperti perkembangan organisasi-organiasasi pergerakan tahun tiga puluhan.



Kondisi Politik yang mempengaruhi Pemberontakan Zeven Provincien

Pemberontakan pada kapal perang de Zeven Provincien yang terjadi pda tanggal 4-10 Feruari 1933, tampaknya merupakan pemberontakan yang terjadi karena suasana politik kolonial pada waktu itu, disamping karena masalah sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh depresi ekonomi 1930. politik reaksioner dari Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936), telah membuka halaman baru dalam politik kolonial pada awal tahun tiga puluhan. Dengan politik reaksioner ini pergerakan nasional tidak diakui eksistensinya. Dengan hak-hak exorbitant de Jonge melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh nasional yang dipandang sebagai kelompok ektrimis. Ir. Soekarno, dibuang ke Flores dan kemudian ke Bengkulu. Sedangkan Moh. Hatta dan St.Sjahrir di buang ke Digul Atas (Tanah Merah) dan kemudian dipindahkan ke Banda. Berpuluh-puluh tokoh yang terlibat dalam pemberontakan tahun 1926 dan 1927 mengalami nasib yang sama. Demikianlah de Jonge telah mendeportasi kaum ekstrimis ke Digul Atas, yang berasal dari organisasi-organisasi PKI, PNI, Partindo, dan Premi.

Pada awal tahun 1933, rapat-rapat yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh radikal pergerakan nasional dibubarkan oleh polisi, yang dipandangnya sebagai forum penghasut untuk melakukan pemberontakan. Pembubaran rapat-rapat itu dilakukan di Surabaya, Purworedjo, Probolinggo, Cilacap, Kebumen dan sebagainya. Bagi Partindo, sebagai sebagai partai yang radikal, pembubaran rapat-rapat itu sangat menguntungkan, karena dapat menjadi bahan propaganda untuk lebih radikal sikap dan tindakannya. Sebenarnya ribuan rapat-rapat telah diorganisir oleh partai-partai non-kooperator antara bulan oktober 1932 sampai bulan Februari 1933, yang meliputi seluruh Jawa dan Madura. Rapat-rapat itu umumnya memprotes politik penindasan de Jonge, seperti protes terhadap dikeluarkannya Ordonansi Sekolah Liar yang ditetapkan tahun 1932. Ordonansi ini merupakan politik orang kolonial untuk mengawasi sekolah-sekolah swasta. Protes-protes itu telah mencipatakan suatu tingkat kerjasama antara organisasi politik dengan organisasi dengan organisasi non-politik, yang semula diperkirakan tidak mungkin, ternyata merupakan tanda bahaya bagi pemerintah.

Perkumpulan-perkumpulan serikat sekerja, sebagai akbat pengurangan dan pemecatan pegawai-pegawai, tampaknya terus melakuan protes kebijaksanaan de Jonge. Pemotongan dan penurunan gaji telah mendorong kuatnya aksi dari berbagai serikat sekerja dalam usaha menetang kenijaksanaan pemerintah de Jonge. Serikat Sekerja Pegawai Negeri (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri-PVPN) dengan keras menentang kebijaksanaan penurunan gaji pegawai negeri. Pada bulan Desember 1931, Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB), yang menrupakan bagian terbesar dari PVPN, mengadakan rapat protes terhadap kebijakan de Jonge, yang hendak melakukan penghematan besar-besaran dibidang pengajaran. Pada bulan Januari 1933 aksi PGHB yang merpakan aksi protes terhadap pemerintah yang menyangkut kebijaksanaan pengurangan tenaga guru dan penurunan gaji sebagai akibat dilaksanakannnya penghematan di bidang pengajaran. Aksi PGHB ini mendapatkan dukungan dari dari perkumpulan-perkumpulan politik, seperti Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatera, Sarekat Ambon, Kaum Betawi, Persatuan Selebres.

Partindo dan PNI baru pada akhir tahun 1932 melakukan kegiatan rapat-rapat, yang juga menyebarkan pamflet-pamflet yang bernada reaksioner. PNI Baru abang Suarabaya dalam bualan Januari 1933 menyebarkan pamflet atau selebaran merah yang menyerukan suatu revolusi dalam semangat Marhaen Indonesia agar kemerdekaan dapat percapai. Pamflet-pamflet revolusioner mencapai puncaknya dalam suatu insiden, pemberontakan kapal perang Zeven Provincien, dimana kaum nasionalis tidak secara langsung terlibat. Serikat sekerja pegarai bawahan Angkatan Laut mengadakan aksi protes menentang penurunan gaji, tampak di pengaruhi oleh pamflet-pamflet yang disebarkan oleh PNI baru.

Jelas sekali bahwa pemberontakan de Zeven Provincien itu merupakan peristiwa politik yang mendapat inspirasi dari organisasi buruh non-komunis. Dan peristiwa ini memperoleh proporsi dalam epik politik PKI. Bagi PKI aksi-aksinya menentang Belanda dalam tahun 1928-1935, dianggap suatu kegagalan. Oleh karena itu perlu adanya suatu reformasi yang layak dalam kepempimpinan organisasi. Demikianlah perkembangan politik yang menyangkut serikat-serikat sekerja 1930-1933, dimana ada kecenderungan keberanian melakukan aksi dan protes terhadap kebijaksanaan kolonial yang merugikan mereka.



Kronologi Sejarah Pemberontakan De Zeven Provincen

Adapun kronologi sejarah dari pemberontakan awak kapal perang de Zeven Provincen dimulai dari aksi pemogokan yang dilanacarkan oleh para pelaut Belanda di Surabaya pada 30 Januari 1933. Dan kemudian pemogokan itu diikuti oleh para pelaut Indonesia yang dilakukan pada 3 Februari 1933. Pada masa-masa tersebut aerikat sekerja pegawai bawahan angkatan laut di Surabaya menyelanggarakan rapat-rapat dan protes terhadap penurunan gaji sebesar 17%. Pada permulaan Januari 1933 kapal de Zeven Provincien mendapat tugas berlayar dari Surabaya untuk mengelilingi pulau Sumatera. Kapal perang tersebut telah mempeunyai pengalaman yang cukup banyak dalam pelayaran di Indonesia sejak tahun 1910 dan pernah mengelilingi dunia tahun 1918. Demikianlah, dalam pelayaran ke Sumatera bukan suatu tugas yang berat, sehingga cukup lancar, sehingga cukup lancar dalam menyinggahi beberapa pelabuhan di Sumatera, seperti di Padang, Sibolga, Meulaboh, Sabang dan Olele, suatu pelabuhan besar di Aceh Raya. Dalam rencana pelayarannya, komandan kapal perang de Zeven provincien memperkirakan akan kembali di pelabuhan Surabaya pada 1 Maret 1933.

Awak kapal de Zeven Provincien yang berkebangsaan Indonesia di bawah pimpinan Paradja, Rumambi, dengan bantuan seorang kelasi Indonesia, Kawilarang, memutuskan mengambil alih kapal perang tersebut dari tangan awak kapal perang Belanda. Menurut rencana kapal perang itu akan dilayarkan kembali ke pelabuhan Surabaya, sebagai aksi protes terhadap kebijaksanaan pemerintah menurunkan gaji sebesar 17%. Disamping itu aksi protes itu juga menuntut pembebasan para pelaut Indonesia yang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah, karena terlibat dalam aksi protes yang dilakukan serikat sekerja pegawai bawahan Angkatan Laut. Pada Januari 1933, Surabaya diwarnai dengan rapat-rapat dan penyebarkan pamflet-pamflet yang dilakukan oleh serikat sekerja non-komunis. Dengan demikian keberangkatan kapal perang de Zeven Provincien dari Surabaya, Januari 1933, sudah mendapat inspirasi politik dari kegiatan politik serikat sekerja di Surabaya.

Meskipun rencana pemberontakan yang akan dimulai di Olele itu telah diketahui desas-desusnya, oleh para kelasi yang berkebangsaan Belanda, mereka justru mendukung rencana rekan-rekannya yang berkebangsaan Indonesia. Tanggal 4 Februari 1933 merupakan hari yang dipilih oleh ara pemberontak untuk memulai aksi protesnya. Adapun alasannya, antara lain hari Sabtu tanggal 4 Februari 1933 itu, sebagian besar para Perwira dan Bantara akan mendarat di pebuhan Olele. Dengan alasan ini maka para pemberontak telah bersepakat bahwa aksi protes baru akan dihentikan apabila tuntutan mereka di setujui oleh pemerintah. Dari aksi protes itu tidak akan mengambil kekerasan.

Meskipun rencana pengabil-alihan kapal perang itu dirahasiakan para pemberontak, beberapa perwira Belanda yang masih bertugas didalam kapal itu telah mencium rencana tersebut. Sepertinya komandan kapal perang de Zeven Provincien, Letkol. Eikendoom, yang sedang menghadiri resepsi yang diselengggarakan Gubernur Militer wilayah Aceh, tidak cukup percaya dengan laporan para perwira Belanda. Resepsi militer di Olele yang diselenggarakan pada 4 Februari 1933 adalah suatu resepsi yang merupakan pertemuan yang dilakukan antara angkatan darat dengan pasukan Marine Belanda, yang sedang bertugas dalam pelayaran di kapal perang de Zeven Provincien tersebut.

Seperti diketahui, pemerintahan Neitherland, untuk kepentingan pertahanan di tahan koloni Indonesia, mengeluarkan dasar-dasar pertahanan pada tahun 1927. Dengan dasar-dasar pertahanan ini, angkatan perang Hindia Belanda diatur menurut tugas, kewajiban dan tanggung Jawab masing-masing angkatan perang. Adapun tugas kedalam diletakan pada Angkatan Darat yang dibantu Angkatan Laut. Mengenai tugas keluar dipulau Jawa diserahkan kepada Angkatan Darat, yang dibantu Angkatan Laut. Sedangkan di luar Jawa, termasuk Sumatera, tanggungjawabnya diserahkan kepada Angkatan Laut dengan dibantu oleh Angkatan Darat. Sedangkan pembangunan Armada Hindia Belanda ditetapkan dua kapal penjelajah, delapan kapal perusak dan dua belas kapal selam.

Jadi jelas bahwa dalam dasar-dasar pertahanan tahun 1927, kapal perang de Zeven Provincien termasuk pendukung utama dalam kekuatan maritim Belanda di Indonesia, yang dipersiapkan pula untuk menghadapi perang Pasifik melawan Jepang. Kapal perang de Zeven Provincien ini dibangun pada tahun 1908 di Amesterdam dan memulai tugasnya pada tahun 1010 ke Hindia Belanda. Ukuran panjang 107, 50 m dan bobotnya 6.525 ton dengan lebar 17,50 m. Anak buah kapal ini sebanyak 141 orang Belanda, termasuk 22 orang tamtama, 30 perwira, 256 orang Bumiputera. Kapal ini dipersenjatai dengan beberapa pucuk senjata meriam.

Ketika pemberontak melintasi Padang pada 9 Februari 1933, Belanda sudah khawatir akan kemungkinan tentang penembakan pelabuhan Padang oleh kapal de Zeven Provincien. Demikian pula ketika kapal tersebut memasuki Selat Sunda pada 10 Februari 1933, Belanda telah bersiagan dengan beberapa kapal selamnya mengepung kapal de Zeven Provincien agar pelayarannya terhambat sehingga tidak melintasi Batavia. Untuk menekan agar para pemberontak segera menyerahkan diri, maka pesawat udara Dormier milik angkatan udara Hindia Belanda diterbangkan dari Surabaya ke Selat Sunda. Komandan pesawat Dormier memberikan isyarat-isyarat melalui komunikasi radio kepada para pemberontak agar segera menyerah, dan menghentikan kapalnya. Tetapi permintaan komandan Dormier itu tidak dihiraukan para pemberontak. Mereka tetap melajutkan pelayarannya menuju Surabaya. Tanpa diduga sebelumnnya bahwa pesawat Dormier akan sungguh-sungguh menjatuhkan bom. Peringatan komandan Dormier pada mulanya hanya dianggap sebagai ancaman dan peringatan belaka supaya pemberontak menyerah. Tetapi kenyataannya komandan Dormier memerintahkan menjatuhkan bom tepat kena pada sasaran kapal de Zeven Provincien pada 10 Februari 1933 ketia kapal tersebut akan melintasi Selat Sunda dalam kepungan kapal selam yang dipersiapkan Belanda diselat itu sejak 8 Februari.

Sekitar enam belas awak kapal Indonesia gugur dalam pemboman itu dan puluhan awak lainnya luka-luka berat. Mereka yang meninggal dimakamkan tanpa upacara di pulau kecil dekat pulau Onrust, di teluk Jakarta. Sedangkan para pelaut Belanda yang gugur dimakamkan di pulau Bidadari.

Pada 10 Februari 1958 tepat seperampat abad setelah peristiwa pemerontakan itu jenajah para pelaut Indonesia dipndahkan dan dimakamkan kembali di taman pahlawan Kalibata sebagai penghargaan bangsa Indonesia atas jasa-jasa mereka dalam merintis kemerdekaan.

Awak kapal Indonesia yang masih hidup antaralain Kawilarang, seorang kelasi yang mengambil bagian kepemimpinan dalam pemberontakan itu, oleh pengadilan dijatuhi hukuman enam belas tahun. Demikian pula awak kapal Belanda tidak luput dari hukuman. Sedangkan komandanb kapal Eikendoom, yang dituduh melalaikan tugasnya sebagai komandan dihukum selama empat tahun.



TanggungJawab Gubernur Jenderal De Jonge

Dua hari setelah pemberontakan kapal perang De Zeven Provincien suatu pawai kesetiaan dilangsungkan didepan istana Gubernur Jenderal di Batavia. Pada saat itu Gubernur Jenderal de Jonge mengucapkan pidatonya, setelah sebelumnya mendapat kritikan dan dan kecaman keras dari segala penjuru. Pidatonya berisi bahwa dia dan pemerintahannya akan tetap tegak berdiri dan mempertahankannya apanya telah dicapai selama tiga ratus tahun. Sebenarnya de Jonge risau dengan kejadian-kejadian di Hindia Belanda, terutama periode pemerintahannya, yang tampaknya tidak dapat dikenadalikan kejadian-kejadian tersebut.

Politik reaksionernya telah mengundang suatu ejekan dan celaan dari para pemimpin partai politik Indonesia selama 1930-an. Kebijakan penurunan gaji, pengurangan atau pemecatan telah mengundang protes, bukan saja berasal dari orang Indonesia saja tetapi juga dari orang-orang Eropa.

Akhirnya de Jonge menyadari bahwa setelah peristiwa pemebrontakan de Zeven Provincien tahun 1933 itu, dia telah meyakinkan pemerintahannya sendiri untuk mengambil tindakan-tinadakan keras kepada kaum nasionalis radikal. Jaksa Agung, Verheyen, dalam laporan kepada Gubernur Jenderal pada 10 Februari 1933, dengan bahan bukti yang amat kecil, menjelaskan adanya keterlibatan PNI Baru Cabang Surabaya, setidak tidsaknya ada sel PNI Baru dalam tubuh angkatan laut di Surabaya. Kiranya dapat dikemukakan dalam uraian ini bahwa pada bulan Januari 1933 sejumlah pemimpin PNI Baru di Surabaya telah ditahan di pemerintah karena aksinya menentang kebijaksanaan de Jonge dengan slogan: ”Harus berevolusi Semangat Rakyat Marhaen Indonesia.” aksi ini mempunyai pengaruh politik yang cukup besar dan berarti terhadap sel PNI Baru dalam tubuh Angkatan Laut di Surabaya. Sedangkan keterlibatan para pemipin PKI (ilegal) tidak tampak, hal ini karena tahun 1928-1935, meupakan tahun-tahun kekekalan para pempin PKI dalam menentang kolonial. Dengan demikian pihak kolonial mengalamatkan aksi radikal itu kepada para pemimpin Partindo, PNI baru, yag di anggap radikal dalam tahun-tahun 1928-1935. Verheyen telah menyatakan kepada Gubernur Jenderal Bahwa PNI baru adalah yang paling berbahaya di antara partai-partai nasionalis karena pimpinanya yang revolusioner. Verheyen percaya bahwa ketegangan dan keresahan yang di akibatkan oleh depresi ekonomi telah digunakan kaum nasionalis revolusioner secara berbahaya.

Oleh karena itu setelah peristiwa pemberontakan kapal perang ”Zeven Provincien” itu, Verheyen memerintahkan kepada para kepala pemerintahan didaerah untuk menyelidiki lebih teliti lagi rapat-rapat politik kaum nasionalis dan melarang agitasi ekstrim. Secara menyolok campur tangan polisi dan pemerintah daerah terhadap rapat-rapat umum PNI baru dan Partindo semakin meningkat. Para pembicara dalam rapat dilarang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan depresi ekonomi, imperialisme dan ide-ide politik kaum nasionalis. Peristiwa pemberontakan kapal Zeven Provincien telah mengguncang pimpinan tertinggi di negeri Belanda khususnya serta tokoh-tokoh partai politik umumnya. Diantara mereka memberikan kritik terhadap de Jonge yang hanya berfikir masalah tanah koloni, tanpa mempertimbangkan suasana politik di negeri Belanda. Secara tidak langsung peristiwa pemberontakan itu ikut mempengaruhi jalannya politik di negeri induk tahun 1933-1942, seperti kebijaksanaan pertahanan di tanah koloni yang makin diperkuat, meskipun banyak dikecam karena membutuhkan anggaran yang besar, dalam mana suasana ekonomi di negeri induk terpengaruh oleh depersi ekonomi tahun 1930.

Kiranya dapatlah diringkas kembali bahwa depresi ekonomi, kebijaksanaan politik reaksioner dan suasana radikal dari kaum nasionalis telah mendorong terjadinya peranga Zeven Provincien. Akibat peristiwa itu, kebijakan kolonial terhadap organisasi pergerakan makin ditingkatkan campur tangannnya. Peristiwa itu juga menjadi ukuran pemerintahan de Jonge, dimana dia tidak cermat dalam membuat kebijaksanaan terhadap organisasi pergerakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

tembusan dari forum GPI

Tentang Pelaut yang Rindu Pulang

MAMPUKAH KITA MENCINTAI TANPA SYARAT.