Janji Sang Pelaut


Janji Sang Pelaut



Namanya Mbah Freddy, lengkapnya kami tidak tahu, bahkan nama pendeknya kami singkat lagi menjadi Mbah Fred. Sudah 6 tahun ini menghuni Panti Wredha tempat kami Praktek. Usianya 73 tahun tapi masih tampak sehat, tak heran karena dulu dia bekerja sebagai pelaut, wajahnya juga masih menyisakan sisa ketampanan masa muda. Setiap pagi kami selalu melihat pemandangan yang sama, Mbah Fred selalu rajin tanpa absen mengunjungi mbah Murni di wisma Flamboyan. Seperti penghuni wisma Flamboyan lain yang rata-rata mengalami ketergantungan. Mbah Murni telah lama mengalami lumpuh dan sekitar 4 tahun lalu buta karena katarak.  Dan mbah Freddy selalu rutin memandikan, menyiapkan baju, sampai menyuapi Mbah Murni, dilakukan tiap hari, tanpa jeda, tak pernah seharipun mangkir. Kata Perawat disana itu sudah dia lakukan sejak pertama kali datang ke Panti.
Bisik-bisik mengatakan 2 orang yang telah lanjut usia itu sedang jatuh cinta.
Ah…..tau apa mereka tentang jatuh cinta ? Kisah mereka bahkan lebih dahsyat dari sekedar “jatuh” cinta.
Di suatu sore dalam jeda rutinitas kegiatan panti, dengan wajah berbinar Mbah Fred-pun bercerita, tentang cintanya, tentang kemudaannya, tentang petualangannya, tentang lautnya ……………
*******
Dia seorang pelaut, selalu berlayar mengikuti kapal yang membawanya, tak pernah singgah untuk waktu lama di satu tempat. Itu jalan hidup yang dipilihnya, meskipun dia harus merelakan tak pernah lagi memanggil orang-orang yang dia sayangi dengan panggilan ibu, dan bapak. Dia sadar menyukai laut dan menikahinya serta merta akan membuatnya dibuang dari rumah. Saat dimana darah muda masih menggelegak dan keinginan orang tua untuk menikahkannya dengan seorang gadis yang bukan pilihannya membuatnya tak punya pilihan lain selain pergi. Toh dia menikmati kisah pelautnya,  karena dia suka melihat laut biru……………luas, seakan tak berbatas, dan bernyanyi riang dengan lagu warisan dari moyangnya.
nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda berani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai
Dia terbiasa dengan lagu itu sambil duduk di anjungan ketika pekerjaan rutinnya usai. Sebagai pelaut, sudah puluhan kota dia kunjungi, beberapa negara juga telah ia singgahi, semua kebudayaan, bahasa, dan macam suku bangsa membuat hatinya bahagia…..yah inilah makna hidup sebenarnya…..menjadi petualang. Dan sepertinya ia akan menjalaninya seumur hidup, sejauh mana Tuhan mengijinkan…………..
Kadang dia berpikir, lautlah takdirnya, mungkin dia juga akan mati di laut nanti, bahkan dia bermimpi dikuburkan di laut , impian yang sering ditertawakan teman-temannya.
“Buat apa kamu mimpi muluk begitu, di laut tak ada siapa-siapa, memang pacar kamu putri duyung hahaha” salah satu temannya tergelak mendengar impiannya
“Makanya Fred, punya pacar kek, biar hidupmu tak kau habiskan dengan memandangi laut saja hahaha” Eduardo teman Spanyolnya juga menggoda.
Sampai suatu waktu Tuhan mungkin memperingatkannya akan tiap harapan yang kurang layak untuk diminta padaNya.
Disatu kota persinggahan, dia berpapasan dengan takdir yang belum pernah dia temui sebelumnya, tepatnya di kota pelabuhan ujung timur pulau jawa, Surabaya……
Awalnya, dia mengira kota ini sama seperti kota-kota lain pada umumnya. Tapi, ternyata berbeda, ia mungkin bisa menolak tawaran duniawi berupa harta dan kedudukan yang memaksanya tinggal di daratan dan menjauh dari lautan yang dicintainya. Tapi kali ini bukan itu…………tapi ini adalah cinta. Bagi pelaut seperti dia, yang telah melewati begitu banyak kisah petualangan, yang telah menghabiskan begitu banyak malam tanpa kesepian, membuatnya mafhum bahwa di kota ini ia mendapatkan godaan terbesar yang tak bisa dilawannya. Nama gadis itu Murni, tidak cantik…..biasa saja bila dibandingkan dengan beberapa wanita yang banyak dijumpainya di kota, pulau bahkan negara lain, ada sesuatu yang membuat ia menjadi berbeda, hanya gadis ini yang bisa membuatnya seakan tak sabar untuk menjumpai mentari esok hari, hanya gadis inilah yang membuat hatinya serasa tak menjadikan logika sebagai tuannya lagi….dia mafhum….inilah yang sering disebut para pujangga dengan nama cinta…………………..
Pertemuannya dengan gadis ini bagai telah diatur oleh Penguasa Alam, saat itu dia berjalan-jalan ke sebuah pasar dekat pelabuhan, hanya 2 minggu kapalnya membuang sauh di kota ini, tak begitu ramai seperti Jakarta, tapi kata salah seorang temannya rujaknya enak  dan harus dicicipi sebelum pergi. Maka tak ada salahnya mencoba sekaligus mungkin ada sesuatu yang bisa dia dapatkan ketika berjalan-jalan.
Suasana pasar pagi itu  ramai, berdesak-desakan, hingga suatu waktu ketika ia sedang asyik mengamati sebuah clurit yang ditawarkan untuk cendera mata, ada seseorang yang menyenggolnya. Gadis yang membawa keranjang bawaan itu  tidak sengaja menabraknya karena memang jalan pasar terlalu sempit dan berjubel. Serta merta keranjangnya jatuh dan memuntahkan seluruh isinya ke jalan.  Mereka bersitatap sejenak, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa berpaling…slow motion. Hingga …..
”Maaf mas…” kata sang gadis. Sadar, diapun mengatakan ”oh…tidak apa-apa” spontan diapun menunduk dan membantu sang gadis memasukkan kembali barang-barang bawaannya ke dalam keranjang. Sepertinya keranjangnya berat dan diapun spontan menawarkan bantuan untuk ikut membawakannya ke tempat becak biasanya menunggu pelanggan, dan senyum yang terukir di mulut sang gadis menjadi isyarat tawarannya diterima.
Perjalanan sampai tempat becak itupun membuat mereka mengenal nama masing2, sebentar saja memang  tapi rasanya….entahlah…..dia juga tak tahu kenapa ketika malam tiba dia masih mengingat wajah manis dan pendar mata indah itu, ha..ha… konyol kan.
Dia bahkan juga masih belum mengerti kenapa dia ke tempat yang sama esok paginya, menunggu kesempatan dan berharap bertemu lagi dengan gadis itu. Tapi pagi itu takdir sedang tak memihak, sang gadis tak muncul untuk ditemuinya. Begitu juga esoknya, dan esoknya lagi………..sampai di hari ketiga, ketika ia memutuskan untuk kembali pada takdirnya, pada lautnya…..tiba-tiba gadis itu muncul, masih dengan wajah dan pendar mata  yang sama yang selalu diingatnya setiap malam. Entah kekuatan apa yang membuatnya mendekat dan bercakap-cakap dia tidak tahu, yang pasti setelah pertemuan itu dia telah mengenal bukan hanya nama, tapi juga rumah, dan janji untuk bisa bertemu kembali.
Aneh dan unik yang disebut cinta….dia percaya kini. Pada seseorang yang dia tak tahu juga kenapa begitu merasa terikat, mungkin karena ada sesuatu di mata gadis itu, dia melihat mata yang indah, yang belum pernah dilihat sebelumnya, yang membuatnya jatuh cinta.
2 minggu tak terasa dia lewati dengan indah, ada rasa berat yang mencoba mencegah petualangannya kembali kelaut, tapi…..dia tak bisa menolak, laut lebih mengikatnya, dia harus menjalankan kembali tugas yang belum usai ditunaikan. Janji untuk kembali mengiringi kepergiannya kali ini, sebelumnya tak pernah ia meniatkan untuk kembali, tidak sampai dia bertemu Murni, gadis itu, dia mendapatkan dorongan itu,, dorongan untuk kembali. Dia ingat waktu itu pertama kalinya ada seseorang yang melepas kepergiannya’
“Mas nanti benar kembali kan ?” kata Murni
“Pasti, tapi aku tak bisa memastikan, tapi tak lama, aku janji, dan kita akan menikah” dia menjawab sambil menggenggam tangan Murni erat. Dia ingin Murni tahu bahwa janjinya sungguh-sungguh.
1 bulan…….2 bulan……3 bulan……sang pelaut terbawa oleh jejak petualangan yang tanpa akhir, apakah dia melupakan……tidak ….dia menempatkan janji itu dalam ruang hatinya yang terdalam, dan seorang pelaut sejati tak pernah ingkar janji, dia pasti kembali, untuk Murni.
12 bulan……membawanya kembali ke Surabaya, daratan yang dia rindukan sekian lama, dan dia mencari lagi gadisnya. Murni …………
Tapi cinta……bukan sesuatu yang selalu menghadirkan tawa, mungkin kisah romeo dan juliet masih harus menjadi guru cintanya kali ini….
Waktu membingkai kesetiaan gadis itu, tapi dia tak bisa melawan takdir -atas nama setia- pada perintah orang tuanya yang telah mengatur perjodohan dengan seorang lelaki lain yang mapan dan pantas untuk menjadi suami di mata kedua orang tuanya. Sang gadis sudah menikah, dengan orang lain, bukan dia…………
Sang pelaut kecewa, tak pernah ia merasakan rasa ini sebelumnya, karena pedihnya begitu dalam….karena cintanya yang juga ternyata sangat dalam, ia memutuskan kembali pada takdirnya, sebagai petualang lautan, tak pernah lagi akan berdiam di daratan, dan tak akan menjalani takdir yang bernama pernikahan……………….seumur hidupnya.
40  tahun berlalu, badannya telah cukup rapuh menghadapi angin laut, napasnya tak lagi bisa mengimbangi kuatnya gelombang, walaupun berat dia memutuskan untuk mendarat……dimana ??? dia tak tahu, keluarga dia sudah tak punya, sendiri…..
Entahlah dorongan batin membuatnya kembali ke Surabaya, walaupun takdir tak memihak padanya disini, toh hanya Murni seseorang yang dia kenal dekat…..dia menganggapnya segalanya, Murni bukan hanya seseorang yang dicintainya, tapi juga keluarganya, dia memutuskan untuk kembali ke kota itu.
Banyak yang telah berubah, begitu pula Murni, dia menjumpainya bukan lagi seperti Murni 40 tahun yang lalu, banyak yang berubah darinya, tapi dia tahu…tidak dengan hatinya, dan hati Murni.
Murni kini hidup sendiri, di panti jompo, suaminya telah meninggal 10 tahun yang lalu, tanpa anak, badan yang renta dan lumpuh karena stroke……..oleh karenanya tetangga yang peduli membawa Murni ke panti jompo yang berada 25 km dari Surabaya.
Tapi cinta…bukan hanya kata yang ditulis di pasir pantai, yang bisa hilang oleh gelombang, cintanya terpatri dalam, bukan karena fisik, harta ataupun sifat duniawi, hanya dia dan hatinya yang tahu. Mereka bertemu lagi, di saat kemudaan tlah beranjak pergi, ketika kesempurnaan jasadi telah ditelan waktu dan usia. Tapi tetap sama, hati mereka masih hati 40 tahun yang lalu, dipertemukan oleh kecocokan jiwa, ketika kecocokan jiwa tak bisa ditentukan oleh banyaknya interaksi dalam selang waktu bahkan milenia.
Dia bertahan dan ikut menjadi warga panti Jompo, setia mengunjungi Murni untuk saling bercerita di wisma mereka yang memang berbeda. Sampai 5 tahun kemudian, Murni tidak hanya lumpuh, tapi matanya pun buta karena katarak, dia masih setia, tak hanya bercerita, tapi juga menyuapi dan menyiapkan segala kebutuhan Murni dari pagi hingga menjelang malam hari……tiap hari. Hingga kini……..
Itulah mbah Freddy, di usianya yang menginjak usia 70 tahun, badannya masih tegap, karena dia pelaut, masih rajin mengunjungi mbah Murni sekedar menyuapi dan bercerita, sampai saat ini……ditanya kenapa……….dia tak mengatakan apa-apa….hanya dari matanya kami tau…ada isyarat cinta
Ketika kami tanya kenapa tak menikahi mbah Murni (ada beberapa mbah disana yang kemudian memang menikah dan akhirnya tinggal di satu wisma), mbah Freddy mengatakan bahwa dia memegang janji, dulu….dia pernah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah menikah…..eventough dengan mbah Murni, gadis yang membuatnya berjanji 45 tahun yang lalu. Dan cinta bukanlah sesuatu yang diikat dengan status pernikahan semata, mbah Freddy mengejawantahkan cintanya dengan memberikan waktu terbaiknya disisi mbah Murni ketika senja.
***
Dan ketika cinta tak berarti lagi uangkapan yang berisi kata-kata indah membuncah
dia hanya bisa terlihat dari kebaikan hati dan ketulusan saling memberi
semoga ….. aku dan kamu (my soulmate)  bisa meneladaninya :D

Komentar

Anonim mengatakan…
Asli nangis,sedih,terharu membaca cerita ini,kangen ma popeye ku,dimanapun kau berada doaku slalu untukmu pelautku...
Tomas Aditya Budi mengatakan…
Apkah kisahku kan spt it yach

Postingan populer dari blog ini

tembusan dari forum GPI

Tentang Pelaut yang Rindu Pulang