Anak-anak Karbitan

Anak-Anak Karbitan
Oleh Dewi Utama Faizah

Anak-anak yang digegas
Menjadi cepat mekar
Cepat matang
Cepat layu…

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana
orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga
persekolahanyang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak
mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri
dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa.. Kursus-kursus kilat untuk
anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam
bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga
jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak
cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan
sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan
saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang
menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua … Captive market!

Kondisi di atas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita
amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan
lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia
dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar
penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan.
Di samping ketidakpatutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidak
tahuannya!
ANAK-ANAK YANG DIGEGAS…

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap
anak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan
intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan
kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani
akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan
kecakapan-kecakapan akademik di dalam dan di luar sekolah.

Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini
terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi
pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang
psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard
College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang
matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak
jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian?
James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan
seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si
anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum
pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada
seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, di mana
seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen
menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif
anaknya, sejak si anak masih berupa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya
telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian
diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang
bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh
mencengangkan! Di usia 1 tahun, Edith telah dapat berbicara dengan kalimat
sempurna. Di usia 5 tahun, Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi
Britannica. Usia 9 tahun, ia membaca enam buah buku dan koran New York
Times setiap harinya. Usia 12 tahun, dia masuk universitas. Ketika usianya
menginjak 15 tahun, ia menjadi guru matematika di Michigan State
University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena
terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun kabar Edith
selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan
yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna
dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil
mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil, mereka
hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang
dungu. Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga
kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.

Selama berpuluh-puluh tahun, orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di
masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. Otak memang memiliki
kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu, banyak
orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan “Early Childhood
Training”. Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap
orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi
anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 %
bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi
belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam
memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat
mencolok. Hal ini terjadi sekarang di mana-mana, di Indonesia.
“EARLY RIPE, EARLY ROT…!”

Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1990 di
Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya
pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila
mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan
menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan ”peluang emas” bagi
anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera
mungkin ke Taman Kanak-kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan
senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun.
Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara
formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah
dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah “Era
Headstart” merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk
membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka
(tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa
yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner,
seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal
“The Process of Education” pada tahun 1990. Ia menyatakan bahwa kompetensi
anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan
yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika . “We begin with the
hypothesis that any subject can be taught effectively in some
intellectually honest way to any child at any stage of development”.

Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang disalahartikan oleh
banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan
dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang
dan cepat busuk. (early ripe, early rot!).

Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD.
Di rumah, para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu
mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman
menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.

Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep
“kesiapan-readiness “ dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang
mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang “biological
limititations on learning”. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka
segera siap belajar apapun.

Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah
membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi “miniature orang
dewasa “. Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah
sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa,
berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain, media pun merangsang
anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan
internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak
anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang
keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa sebagai seksual
promosi yang menyesatkan. Pendek kata, media telah memekarkan bahasa,
berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.

Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah
faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti
halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya
sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat
berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak
seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai
hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan
tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan
emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, cobalah
perhatikan, khususnya saat perilaku anak menampilkan gaya “kedewasaan “,
sementara perasaannya menangis berteriak sebagai “anak”.

Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang
anak laki-laki “Heintje” di era tahun 70-an: I’m Nobody’S Child.

I’M NOBODY’S CHILD

I’m nobody’s child
I’m nobody’s child
Just like a flower
I’m growing wild
No mommies kisses and no daddy’s smile
Nobody’s louch me I’m nobody’s child.
DAMPAK BERIKUTNYA TERJADI KETIKA ANAK MEMASUKI USIA REMAJA

Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki
usia remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam
perilaku yang tidak patut. Patricia O’Brien menamakannya sebagai “The
Shrinking of Childhood”. “Lu belum tahu ya… bahwa gue telah melakukan
segalanya”, begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada
teman-temannya. “Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks”, serunya
bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan
bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai
gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi
cepat mekar, kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan!
Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan
untuk berkembang, sebuah proses dalam kehidupannya!

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas
yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan anak-anak
mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih
mengandalkan tenaga “baby sitter” sebagai pengasuh anak-anaknva. Colette
Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai “Cinderella Syndrome”
yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau
menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi menghindari
kehidupan nyata yang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di
lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut
berbagai les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi cilik,
lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga jika
anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah.
Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby
sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang
para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di lembaga pendidikan
eksekutif sebagai wakil dari orang tua.
ERA SUPERKIDS

Kecenderungan orangtua menjadikan anaknya “be special” daripada “be
average or normal” sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
anak-anak mereka menjadi “to excel to be the best”. Sebetulnya tidak ada
yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti
berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam
kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket,
balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya maka
lahirlah anak-anak super “SUPERKIDS”. Cost (biaya) merawat anak superkids
ini sangat mahal.

Era superkids berorientasi kepada “Competent Child”. Orangtua saling
berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya “earlier is
better”. Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan
ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil Posmant
seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak
tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah ketika anak anak itu
menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan!
BERBAGAI GAYA ORANGTUA

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan
berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan
“miseducation” terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind (1989)
mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara lain:

Gourmet Parents (Orang tua Borju)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus,
mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan gaya
hidup kebarat-baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan cenderung
merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta mereka. Penuh
dengan ambisi! Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu
mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas
pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka “superkids”
merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua. Orangtua kelompok
ini memakaikan anak-anaknya baju-baju mahal bermerek terkenal,
memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang prestisius. Keluar
masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya
keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat
sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil
terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua “gourmet “ atau
kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents (Orang tua Intelek)

Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah ke
atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering
melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya
membantu membuat majalah dinding dan kegiatan ekstra kurikular lainnya.
Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan
hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka
“Superkids”, apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang
tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal
yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya bahwa
pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas. Kelebihan
kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang
dilaksanakan di sekolah anak-anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak
membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

Gold Medal Parents (Orang tua Mendali Emas)

Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan
anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu
pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini
lagi marak di Indonesia. Ada juga gelanggang seni seperti ikut menyanyi,
kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka
tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi “Seorang
Bintang Sejati “. Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi
“Sang Juara”, mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga none
abang cilik ketika anak-anak mereka masih berusia TK.

Sebagai ilustrasi,dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang, puluhan
anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya
lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang
molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta. Anak-anak mulai resah,
berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara anak kecil
mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk anak-anaknya bersabar.
Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan kelular sebagai
pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas
kertas.

Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi
kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang
gadis kecil pesenam usia TK rnengalami kelainan tulang akibat ambisi
ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus “bintang cilik” Yoan Tanamal yang
mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian
menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni
penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya
menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak bencana
pada anak-anak mereka!

Pada tanggal 29 Mei lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik
“Joshua” yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya.
Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang bintang
dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita tentu masih
ingat bagaimana lucu dan pintarnya Joshua ketika berumur kurang 3 tahun.
Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat menghapal puluhan
nama-nama kepala negara. kemudian di usia balitanya dia menjadi penyanyi
cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan
bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan anaknya seorang “superkid”
seorang penyanyi sekaligus seorang bintang film.

Do-it Yourself Parents (Orang tua Mandiri)

Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan
menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan professional di
bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat
ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan
keuangan mereka. Walaupun begitu, kelompok ini juga bemimpi untuk
menjadikan anak-anaknya “Superkids earlier is better”.

Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai
lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau
tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang
binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents (Orang tua Paranoid)

Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat
memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka
sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan
permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran yang
berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak
disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep “Superkids”.
Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat
melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. Terkadang mereka
melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan
anak-anaknya “Karate, Yudo, pencak Silat” sejak dini. Ketidakpatutan
pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka
terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah
panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa
dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi “steril”
dengan lingkungannya.

Prodigy Parents (Orang tua Instan)

Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak memiliki
pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, narnun tidak berpendidikan
yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan
bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah
mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya.

Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat
dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang
cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah
terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah.
Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku
tentang “Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca” karangan Glenn Doman , atau
“Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika” karangan Siegfried, “Berikan
Anakmu pemikiran Cemerlang” karangan Therese Engelmann, dan “Kiat-Kiat
Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 9 Hari” karangan Sidney Ledson.

Encounter Group Parents (Orang tua Pengerumpi)

Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. Mereka
terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau terkadang
tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang mereka juga
merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam perkawinannya.

Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam
membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini sering
melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-anak dengan berbagai perilaku
“gang ngrumpi” yang terkadang mengabaikan anak. Kelompok ini banyak
membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka
sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya
lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini sangat
mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya.
Menjadikan anak-anak mereka sebagai “Superkids” juga sangat diharapkan.
Namun banyak dari anak anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan
prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents (Orang tua Ideal)

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak
yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis.
Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya
dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang
anak-anak mereka dengan penuh dukungan.

Kelompok ini tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan
“miseducation” dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mereka memberikan
lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan
tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.

Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan musik
yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan,
bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka
untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun
meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah. Kehangatan
hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk
percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar.

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya dengan
patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak membutuhkan
suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang
dimilikinya. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa anak sendirilah yang
akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi mereka, setiap anak
adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang
juga berbeda dan unik!

Kamu harus tahu bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih kuat,
atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti daripada
kenangan indah; terutama kenangan manis di masa kanak-kanak. Kamu
mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang indah,
kenangan berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu pendidikan
yang terbaik. Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan indah di masa
kecilnya, maka kelak seluruh kehidupannya akan terselamatkan. Bahkan
apabila hanya ada satu saja kenangan indah yang tersiampan dalam hati
kita, maka itulah kenangan yang akan memberikan satu hari untuk
keselamatan kita” (destoyevsky’ s brothers karamoz)
PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK

Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya
juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada
produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah
“industri” dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan anak.
Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan rumah yang
menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian
guru-guru yang sibuk sebagai “Operator kurikulum” dan tidak punya waktu
mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator
sekolah. Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih
dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi “pengabar isi buku pelajaran”
ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di
saat-saat tertentu, sekolah akan menggunakan “mesin-mesin dalam menskor”
capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa
potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam
menjalani pendidikan di sekolah. Pikiran mereka diforsir untuk
menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai
anak.

Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan
organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka
diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di
pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal
kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran? Tumpulnya rasa dalam
mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan dalam
sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak menjadi
semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan
melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum persekolahan,
namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sepanjang
hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah? dengan tugas-tugas dan PR
yang menumpuk.

Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk
menyongsong kehidupannya! Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang
sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan
bahwa sekolah telah melakukan “pedagogy of the oppressed” terhadap
anak-anak didiknya. Di mana guru mengajar, anak diajar, guru mengerti
semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan,
guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak
didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya
mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat
cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja,
guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran
(Freire,1993) . Model pembelajaran banking system ini dikritik
habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan
antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah.
MENGKOMPETENSI ANAK MERUPAKAN “KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN”

“Anak adalah anugrah Tuhan sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi
citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang
bertanggungjawab”
(Nature versus Nurture)

Bagaimana?

Karena ada dua pengertian kompetensi. Kompetensi yang datang dari
kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi
yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri.

Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson
(psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa
menjadi apapun sesuai kehendak kita; sebagai komponen sentral dari konsep
kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka mereka juga dapat
dibentuk melalui pembelajaran dini.
Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut :

Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to
bring them up in, and I’ll guarantee you to take any one at random and
train him to become any type of specialist I might select — doctor,
lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless
of this talents, penchants, tendencies, vocations, and race of his
ancestors ”

Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan “intervensi dini”
setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya.
Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New Jersey pada
tahun 1979. Dimana guru-guru melakukan serangkaian program tes untuk
mengukur “Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill)” dalam mata
pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program ini
dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times
sebagai berikut : “The improvement in those areas were not the result of
any magic program or any singular teaching strategy, they were…. simply
proof that accountability is crucial and that, in the past five years, it
has paid off in New Yersey”

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan
sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik
ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. Semestinya kita dapat
menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan
kompetensi-kompeten si perolehan pengetahuan hanya secara kognitif.

Oleh karena hingga hari ini, sekolah belum mampu menjawab dan dapat
menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran.
Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti
emosi, sosial, kognitif fisik, dan moral belum dapat dikemas dalam
pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati
adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak
sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan anak
dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja!. Pendidikan sejati bukanlah
paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi
bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat dan
keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang terjadi
secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku keingintahuan
“curiosity” inilah yang banyak tercabut dalam sistem persekolahan kita.
AKADEMIK BUKANLAH KEBUTUHAN DARI SEBUAH PENDIDIKAN! “EMPTY SACKS WILL
NEVER STAND UPRIGHT”(GEORGE ELIOT).

Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui
kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun
secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak
didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati dan pisik anak akan
menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah
dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari
“karakter”. Di mana mereka mendidik anak menjadi “good and smart” terang
hati dan pikiran.

Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan “how learn to learn” pada anak
didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada anak
didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan
berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi
sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik
yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai
kreativitas.

Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya
berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison mengatakan
bahwa “genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration “.

Semangat belajar “encourage” tidak dapat muncul tiba-tiba di diri anak.
Perlu proses yang melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan belajar.
Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak
mencintai mereka sebagai anak. Selanjutnya misi sekolah lainnya yang
paling fundamental adalah mengalirkan “moral litermy” melalui pendidikan
karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan
plus karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King,
Jr ). Inilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi
otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara
pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik.
PENUTUP

Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang
terang hati dan terang pikiran “good and smart” merupakan tugas kita
bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang
mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya
antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang
tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan
segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah
ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan
faktor emosi.

Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini
kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi “SUPERKIDS”. Inilah
fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari lahirnya
era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak karbitan itu
menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang ke
kanak-kanakan. []

*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen
Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan
Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

Komentar

Surtiasih mengatakan…
Salam WW,

Terkadang kita lupa. Anak anak adalah titipan Nya. Kita, ortu. pengen mereka jadi ini jadi itu. Lupa bahwa Gusti Yang Maha Agung mempunyai rencanna buat mereka. Terus terang inilah yang saya rasakan sendiri. Kalau lah boleh saya kembali menata hidup ini: Biarlah mereka menjadi apa adanya. Bimbinglah dia dan bekali dengan Iman, Moral, contoh yang baik. Doakan mereka untuk mendapatkan yang terbaik buatnya. Lucunya: Waktu mereka masih belum dewasa, rasanya doaku mujarab. Eh begitu menginjak dewasa: Koq rasanya kurang cespleng. Kemudian yg aku pikirkan: Lho anakku kan sudah dewasa. Saatnya untuk fifty:fifty (kaya di kuis aja yah). Jadi sudah saatnya dia dilepas untuk lebih bertanggung jawab akan dirinya sendiri. Wah saya bergurau: Sebentar lagi "ask a friend" dong ya.

Salam buat Mbak vien dan semua WW

Postingan populer dari blog ini

tembusan dari forum GPI

Tentang Pelaut yang Rindu Pulang

MAMPUKAH KITA MENCINTAI TANPA SYARAT.